RSS

BERILMU PERLU, BERAMAL LEBIH PERLU.

14 Des
BERILMU PENTING.
مَنْ عَلِمَ لَيْسَ كَمَنْ لَـمْ يَعْلَمْ.
Siapa berilmu tidak seperti orang yang belum berilmu.”
SABAR DAN TEGUH.
SABAR DAN TEGUH.
لَا يُدْرَكُ العِلْمُ إِلَّا بِالصَّبْرِ عَلَى الضُّرِّ.
Ilmu tidak akan didapat kecuali dengan bersabar atas kesulitan.”

BERILMU ITU AMAT PENTING.
مَنْ عَلِمَ لَيْسَ كَمَنْ لَـمْ يَعْلَمْ.
Siapa berilmu tidak seperti orang yang belum berilmu.”

TETAPLAH SELALU BELAJAR.
لَا يَزَالُ الرَّجُلَ عَالِـمًا مَا تَعَلَّمَ.
Seseorang masih disebut alim selama ia belajar.”

MENGAMALKAN ILMU MENJADIKAN DIRI SEMPURNA.
العِلْمُ أَفْضَلُ خَلَفٍ، وَالعَمَلُ بِهِ أَفْضَلُ شَرفٍ.
Ilmu adalah warisan terbaik, dan mengamalkan nya adalah kemulian paling sempurna.”

MENUNTUT ILMU TERMASUK JIHAD DI JALAN ALLAH
Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ Berfirman,
وَلَوْ شِئْنَا لَبَعَثْنَا فِي كُلِّ قَرْيَةٍ نَذِيرًا (51) فَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا (52)
“Dan andaikata Kami menghendaki benar- benarlah Kami utus pada tiap-tiap negeri seorang yang memberi peringatan (Rasul). Maka jangan lah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Qur’an dengan jihad yang besar.
(QS. Al-Furqân: 51-52)

CIRI DAN TANDA ULAMA ATAU ILMUAN YANG ALIM MENURUT IMAM al-GHAZHALI.

ﻭَﺍﻋْﻠَﻢْ ﺍَﻥَّ ﺍﻟﻼَّﺋِﻖَ ﺑِﺎﻟْﻌَﺎﻟِﻢِ ﺍَﻟْﻤُﺘَﺪَﻳِّﻦُ ﺍَﻥْ ﻳَﻜُﻮْﻥَ ﻣَﻄْﻌَﻤُﻪُ ﻭَﻣَﻠْﺒَﺴُﻪُ ﻭَﻣَﺴْﻜَﻨُﻪُ ﻭَﺟَﻤِﻴْﻊُ ﻣَﺎ ﻳَﺘَﻌَﻠَّﻖُ ﺑِﻤَﻌَﺎﺷِﻪِ ﻓﻰْ ﺩُﻧْﻴَﺎﻩُ ﻭَﺳَﻄًﺎ . ﻟَﺎ ﻳَﻤِﻴْﻞُ ﺍﻟﻰ ﺍﻟﺘﺮﻓﻪ ﻭﺍﻟﺘﻨﻌﻢ
Ketahuilah! bahwa yang patut atau pantas disebut ulama (atau orang berilmu) ialah orang yang makananannya, pakaiannya, tempat tinggalnya (rumah) danhal- hal lain yang berkaitan dengan kehidupan duniawi, sederhana, tidak bermewah-mewahan dan tidak berlebihan dalamkenikmatan …

Al-Ghazali membagi ulama menjadi dua ;
(1). ulama akhirat,
(2). ulama su’ (ulama buruk) atau ulama dunia.

Al Ghazali yang mendapat gelar Hujjatul Islam ini menegaskan pentingnya mengetahui perbedaan kedua model ulama di atas, karena keduanya bagaikan timur dan barat atau bagaikan langit dan bumi.

Ulama su’ atau ulama dunia menurut al-Ghazali adalah mereka yang menggunakan ilmunya untuk mencari kenikmatan dunia saja, memperoleh kekuasaan dan posisi yang terhormat di hadapan masyarakat. Tipikal ulama inilah yang mendapat ancaman keras dari beberapa ayat dan hadis.

Salah satunya sabda nabi:
ﺃِﻥَّ ﺍَﺷَﺪَّ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻋَﺬَﺍﺑﺎً ﻳَﻮْﻡَ ﺍْﻟﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ ﻋَﺎﻟِﻢٌ ﻟَﻢْ ﻳَﻨْﻔَﻌْﻪُ ﺍﻟﻠﻪُ ﺑِﻌِﻠْﻤِﻪِ
Paling pedihnya azab di hari kiamat adalah orang alim yang ilmunya tidak bermanfaat”….

AL-HASAN AL-BASRI berkata:
ﻌُﻗُﻮْﺑَﺔُ ﺍْﻟﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ ﻣَﻮْﺕُ ﺍْﻟﻘَﻠْﺐِ ﻭَﻣَﻮْﺕُ ﺍْﻟﻘَﻠْﺐِ ﻃَﻠَﺐُ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﺑِﻌَﻤَﻞِ ﺍﻷَﺧِﺮَﺓِ
Hukuman atau sanksinya ulama adalah matinya hati dan matinya hati disebabkan mencari dunia dengan perbuatan akhirat.
Kenapa ulama yang sudah tergiur dengan dunia dianggap ulama su’ ? Karena paling rendahnya pengetahuan dan keilmuan yang dimiliki ulama pasti paham bahwa dunia itu hina, dina dan remeh.

Dalam salah satu hadisnya, nabi menyebut dunia itu terlaknat karena bisa meninggalkan mengingat Allah.
Sebenarnya bukan hanya al-Ghazali yang mengkritik ulama su’ atau ulama dunia, dalam beberapa kitab tafsir, ulama su’ juga dikecam.

IMAM AL-NAISABURI menyebut ulama su’ sebagai ulama yang melakukan tipu daya kepada orang awam dengan ilmunya.

Sementara itu, IBNU AJIBAH dalam Tafsir al-Bahru al-Madid fi tafsir al-Quran al-Majid , menyatakan bahwa ulama su’ adalah mereka yang merasa enteng untuk memperoleh gemerlapnya dunia dengan ilmu yang dimiliki, seperti menerima sogokan, mengambil upah sesuai dengan ketentuan.

Maka, untuk menjauh dari jebakan ulama su’, penting mengetahui tanda-tanda ulama akhirat atau ulama yang layak diikuti.
Menurut al-Ghazali setidaknya ulama akhirat itu memiliki tanda-tanda sebagai berikut :

PERTAMA, ia tak menggunakan ilmu yang dimiliki untuk mencari gemerlapnya dunia. Karena setiap orang berilmu pasti paham bahwa dunia itu begitu rendah, remeh dan hina. Antara ilmu dan dunia bagaikan dua neraca timbangan, bilamana salah satunya terisi maka yang lain terangkat, begitu pula ilmu dan dunia tak akan bisa mengisi hati seseorang secara bersamaan.

KEDUA, kesesuaian antara perkataan dan perbuatan. Ia tak akan memerintah kan kebaikan kecuali telah mengerjakan dan tidak melarang sesuatu kecuali telah meninggal kan. Allah berfiman:
ﻛَﺒُﺮَ ﻣَﻘْﺘﺎً ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺍَﻥْ ﺗَﻘُﻮْﻟُﻮْﺍ ﻣَﺎ ﻟَﺎ ﺗَﻔْﻌَﻠُﻮْﻥَ
(itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang kamu tidak kerjakan. (QS. Shaf [61]: 03).

KETIGA, fokus perhatiannya dalam mencari ilmu adalah ilmu-ilmu yang bermanfaat baik di dunia dan akhirat. Ia menjaga jarak dari ilmu-ilmu yang hanya menjauh kan dirinya dari mengingat Allah.

KEEMPAT, sederhana dalam ucapan, perbuatan, pakaian dan tempat tinggal. Kesederhanaan menjadi penting bagi seorang ulama karena ia adalah salah satu indikator sikap zuhud, yaitu tidak cinta dunia.
Sungguh masih ada ulama kita yang sangat sederhana dalam hal penampilan nya: mulai ucapannya, perbuatannya dan tempat tinggal nya. Pakaiannya serba sederhana, mulai dari songkok, baju dan sarung yang dikenakan. Ia tak memakai aksesoris berlebihan, seperti jubah, tasbih dan lain-lain. Jika tampil di forum-forum pengajian dan pembawaan nya datar, tak teriak-teriak seperti orator. Ketika pergi ke Undangan tak pernah dikerumuni khadam-khadam, apalagi mobil Patwal sehingga dalam banyak kesempatan masyarakat sering terkecoh dengan penampilannya. Padahal umat yang diasuhnya sangat besar dengan jumlah ribuan, bahkan tidak terjumlahkan.

KELIMA, fokus utamanya adalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hati dan muraqabah (ia merasa bahwa Allah selalu memantau gerak-geriknya). Dalam tiap pembahasannya, al-Ghazali selalu menekankan pentingnya menjaga hati. Karena hati ibarat alat yang bisa mengendalikan seluruh tubuh manusia.

KEENAM, tidak buru-buru memberi fatwa. Poin ini penting untuk stabilitas bersama antar masyarakat dan anak bangsa. Mengingat ulama mendapat posisi yang begitu sakral di hati masyarakat, ucapan dan tindakannya seperti perintah dari wahyu Tuhan. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang homogen jika semua persoalan yang bermunculan langsung diberi fatwa tanpa mengetahui betul duduk perkaranya maka instabilitas akan terjadi. Apalagi fatwa yang keluar berkaitan dengan isu-isu sensitif seperti fatwa sesat, kafir atau menista. Maka tak heran, telinga kita begitu akrab dimana fatwa kerap dijadikan dalih untuk melakukan kekerasan, intoleransi dan lain sebagainya.

KETUJUH, menjaga jarak dari penguasa. Idealnya seorang ulama tak begitu intens berhubungan dengan penguasa. Meminjam bahasa al-Ghazali, sekiranya menemukan jalan untuk menjauh dari penguasa, maka ia harus menempuh jalan itu. Alasannya sederhana, karena dunia begitu nikmat dan menggoda sementara tali kekang dunia ada di tangan penguasa. Tapi ketentuan ini tak bisa diberlakukan universal, mengingat al-Ghazali dengan Ihya’ Ulumuddin -nya lahir dalam konteks dan ruang tertentu. Tapi sebagai tindakan preventif sebaik nya seorang ulama memang menjaga jarak dengan penguasa. Nabi bersabda:
ﺷِﺮَﺍﺭُ ﺍْﻟﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ ﺍَﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﻳَﺄْﺗُﻮْﻥَ ﺍﻷُﻣَﺮَﺃ ﻭَﺧِﻴَﺎﺭُ ﺍﻷُﻣَﺮَﺃِ ﺍَﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﻳَﺄْﺗُﻮْﻥَ ﺍْﻟﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ
Paling buruknya ulama adalah mereka yang mendatangi penguasa dan sebaik-baiknya penguasa adalah mereka yang mendatangi ulama.

KEDELAPAN, begitu perhatian dan serius dalam menguatkan kayakinan karena kayakinan adalah modal dasar agama.

KESEMBILAN, selalu merasa sedih, hina dan nista di hadapan Allah. Hal ini sebagai rem agar diri tak congkak di hadapan Allah. Karena ulama adalah pangkat yang prestesius di tengah masyarakat, jika tidak dikelola dan dimanfaatkan dengan baik khawatir status keulamaan mengantarkan kepada kesombongan dan keangkuhan.

KESEPULUH, ilmu-ilmu yang menjadi fokus utama pembahasaanya adalah berkaitan dengan ilmu perbuatan dan hal-hal yang menjaga hati dari sikap waswas.

KESEBELAS, hati dan nuraninya menjadi soko guru terhadap seluruh ilmu dan perbuatan nya. Jadi sumber pengambilan ilmu yang dimiliki tidak kitab semata, tetapi juga bertopang pada hati-nuraninya. Hal ini sesuai dengan sabda nabi Muhammad:
ﺃِﺳْﺘَﻔْﺖِ ﻗَﻠْﺒَﻚَ ﻭَﺃِﻥْ ﺍَﻓْﺘﺎَﻙَ ﺍْﻟﻤُﻔْﺘُﻮْﻥَ
Mintalah petunjuk kepada hati nurani mu sekalipun memberi fatwa siapa juru fatwa.

KEDUA BELAS, sangat menghindar atau menjauh dari perkara-perkara baru (bid’ah). Karena melakukan kreasi baru terhadap urusan agama adalah hal yang sangat dilarang. Hal ini menyangkut kemurnian ajaran agama.

Di tengah menguatnya politik identitas yang membawa- bawa simbol agama seperti, masyarakat hendaknya cerdas menilai mana ulama yang sesungguhnya dan mana pula yang hanya memanipulasi diri sebagai ulama.

Dan penting diingat, ulama itu bukan rekomendasi dari pemerintah atau tokoh poltik ia adalah gelar yang diberikan oleh Allah kepada hambanya yang saleh, karena sesungguhnya orang berilmu yang alim itu adalah hamba Allaah yang paling takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala jua adanya.

MUKMIN SELALU MELAWAN KAFIR
Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ Berfirman,
الَّذِينَ آمَنُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۖ وَالَّذِينَ كَفَرُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ فَقَاتِلُوا أَوْلِيَاءَ الشَّيْطَانِ ۖ إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا
Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu lawan (perangi) lah kawan-kawan syaitan itu, karena sesungguh nya tipu daya syaitan itu adalah lemah.
(QS. An-Nisâ’: 76).

JIHAD ITU PERINTAH ALLAH
Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ Berfirman,
وَقَٰتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ ٱلدِّينُ لِلَّهِ ۖ فَإِنِ ٱنتَهَوْا۟ فَلَا عُدْوَٰنَ إِلَّا عَلَى ٱلظَّٰلِمِينَ
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti dari memusuhi kamu, maka tidak ada permusuhan lagi, kecuali terhadap orang-orang yang zhalim.”
(QS. Al-Baqarah:193)

Demikianlah semoga bermanfaat buat kita semua …
Wa billahit Taufiq Wal Hidayah …

Wassalam BuyaHMA Buya Masoed Abidin bin Zainal Abidin bin Abdul Jabbar.

 

Tag: , , , , ,

Tinggalkan komentar